Unit Inovasi Akademik FISIPOL UGM

Polemik ChatGPT: Bagaimana Perguruan Tinggi Harus Bersikap?

Oleh Muhammad Rizky dan Randy W. Nandyatama


Di penghujung 2022, OpenAI (sebuah lembaga penelitian teknologi nirlaba yang didanai oleh Altman dan Musk) merilis chatbot berbasis kecerdasan buatan (AI), ChatGPT. Robot ini adalah model AI berbasis percakapan/dialog yang disusun dari serangkaian model AI Generative Pre-trained Transformer (Chang, 2022).

Hanya dalam kurun waktu 3 bulan ChatGPT telah menunjukkan kebermanfaatan di ragam industri, khususnya pekerjaan seperti copywriting, penulisan laporan berita, menjawab pertanyaan customer service hingga membuat dokumen legal.

Fenomena tersebut sejatinya menggambarkan situasi di dunia nyata yang akan dihadapi mahasiswa dan akademisi kedepannya, yakni kesadaran serta pemanfaatan teknologi kian meningkat. Pekerjaan yang bersifat repetitif dan membutuhkan tingkat intervensi manusia yang minim akan tergantikan oleh AI (World Economic Forum, 2020).

 

Bagaimana ChatGPT bekerja?
ChatGPT merupakan satu dari sekian transformer model seperti DALL-E, yang dirancang untuk memberikan jawaban dengan bahasa colloquial, berdasarkan instruksi/pertanyaan yang diberikan oleh pengguna (Chang, 2022).

Menggunakan teknik deep learning, ChatGPT mampu menghasilkan pola kata berdasarkan pembelajaran dari sekumpulan teks dari yang diumpankan ke mesinnya. OpenAI menggunakan sebanyak 600GB data yang berasal dari buku, Wikipedia dan internet (Mannix, 2023). Bila diberikan instruksi yang memadai, ChatGPT bahkan mampu memproduksi abstrak makalah ilmiah fiktif (Else, 2023).

 

Polemik penggunaan ChatGPT di perguruan tinggi

Perlu digarisbawahi, ChatGPT bekerja berdasarkan data dengan periode waktu yang terbatas. Sehingga ia tidak dapat memberikan informasi yang diproduksi di luar dari batas data yang dilatih menggunakan deep learning.

Namun teknologi AI seperti ChatGPT dan sejenisnya akan terus berkembang dan berpotensi untuk menjadi lebih optimal. Sehingga penting bagi setiap lembaga khususnya pendidikan tinggi, untuk menentukan langkah kebijakan menghadapi era kecerdasan buatan dan dampaknya bagi lanskap civitas akademika.

Kemampuannya untuk memberikan jawaban yang koheren, insightful dan menjadi rekan brainstorming, membuat beberapa dosen di pendidikan tinggi khawatir bila mesin ini dapat menggantikan ragam pekerjaan manusia (Stokel-Walker, 2022).

Satu implikasi negatif yang paling memungkinkan untuk (dan sudah) terjadi adalah mahasiswa menggunakan alat penulisan berbasis AI untuk mengerjakan penugasan akademik dalam bentuk esai (Hutson, 2022). Implikasi lainnya peneliti dapat mengarang teks ilmiah, sebagian bila tidak seutuhnya, dan luput dalam radar alat pendeteksi tulisan yang dibuat oleh AI, maupun oleh peer reviewer (Else, 2023).

Menggunakan tulisan dari ChatGPT tidak dapat semerta-merta dikategorisasikan sebagai plagiarisme, setidaknya bila merujuk pada diksi kebijakan integritas akademik di universitas saat ini. Oleh karena itu universitas dapat memberikan respons cepatnya dengan memperbaharui kebijakan integritas akademik dan menyebarkan ke tenaga pengajar, tenaga pendidik serta mahasiswa (Gleason, 2022).

 

Apakah ChatGPT dapat sepenuhnya menggantikan pekerjaan manusia?

Pada akhirnya, ChatGPT masih memiliki keterbatasan seperti:

1) Penting untuk digarisbawahi segala jenis AI sangat mungkin mengandung bias berdasarkan kumpulan data yang dimasukkan ke mesin deep learning-nya. Pasalnya teks yang diproduksi oleh manusia dapat bersifat subjektif dan mengandung prejudice terhadap kelompok tertentu. Meskipun mitigasi bias pada teks yang dihasilkan oleh GPT-3 (versi pendahulu) telah diupayakan oleh OpenAI, mekanisme ChatGPT akan terus memiliki risiko bias karena berbasis pada asosiatif statistikal antara bahasa dan frasa-frasa yang menjadi basis database-nya dan seringkali memiliki bias tertentu (Wiggers, 2021; cf. Alba, 2022).

2) Walaupun tulisan ChatGPT terlihat cukup meyakinkan, sejumlah pengguna menemukan beberapa inkonsistensi dalam penyampaian fakta. Terdapat kasus di mana tulisan ChatGPT memberikan contoh palsu seperti judul buku ketika ditanya mengenai seorang public figure (Earley, 2023). Ia juga kesulitan dalam membahas permasalahan yang spesifik atau lokal, membuat argumen yang orisinil dan menginterogasi argumen yang telah ada alih-alih sekadar mengutipnya (Stacey, 2022). Pendek kata, mesin ini tidak sepenuhnya memahami apa yang ia sampaikan. Ia hanya memproduksi kata per kata secara koheren, sehingga menyerupai tulisan manusia.

3) Sejatinya saat ini telah terdapat mesin pendeteksi tulisan AI seperti OpenAI GPT-2 Output Detector Demo yang dikembangkan oleh OpenAI sendiri, dan GPTZero oleh Edward Tian. Mesin ini dapat digunakan oleh tenaga pengajar untuk mengecek tulisan yang diproduksi oleh ChatGPT hingga batasan tertentu.

 

Bagaimana dunia akademia melihat ChatGPT?

Terlepas dari kelemahan yang saat ini menjadi batasan bagi pengguna ChatGPT untuk semerta-merta menggunakannya dalam menyelesaikan ragam pekerjaan, opini mengenai penggunaan ChatGPT sangatlah beragam dari yang menentang dengan keras hingga yang amat permisif.

Di satu sisi, beberapa kalangan menekankan pembatasan atas penggunaan AI. Rob Reich (profesor ilmu politik di Stanford University) dalam artikel yang dirilis The Guardian berargumen bahwa diperlukan regulasi terhadap ChatGPT (Reich, 2022). Misalnya, penetapan batasan usia dalam mengakses bot tersebut agar murid di pendidikan K-12 yang notabene lebih rentan dalam memanfaatkan teknologi ‘cepat saji’ ini, tidak dapat menggunakannya sebagai jalan pintas dalam mengerjakan tugas. Reich (2022)  juga berpendapat industri AI harus diatur oleh badan pengawas independen guna mengatur tata cara, proses pengembangan yang bertanggungjawab, serta mempertimbangkan dampak sosial dari produk AI-nya.

Beberapa universitas di Australia juga telah beralih ke ujian menggunakan kertas demi memitigasi risiko mahasiswa menggunakan ChatGPT dalam esainya (Cassidy, 2022). Aksi ini dimaknai sebagai “proactive tackling” terutama dalam meredesain bentuk-bentuk asesmen yang mengedepankan integritas dan mampu memitigasi perkembangan AI.

Di lain sisi, Nancy Gleason (direktur Hilary Ballon Center for Teaching and Learning di NYU Abu Dhabi) berpendapat ChatGPT dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum pembelajaran bagi mahasiswa (Gleason, 2022). Hal ini didasari pemahaman bahwa teknologi AI tidak akan menghilang, alih-alih perkembangannya akan memaksa setiap orang untuk menggunakannya dalam koridor tertentu bila dimungkinkan.

Ia menegaskan proses pembelajaran perlu dikembalikan pada menilai proses selain hanya hasilnya. Sebagai contoh aktivitas di kelas, dosen dapat membagi mahasiswa ke dalam kelompok dan meminta mereka untuk mengidentifikasi abstrak penelitian dari suatu topik yang diproduksi oleh ChatGPT dengan abstrak yang asli. Mahasiswa juga dapat diminta untuk mengidentifikasi kelemahan dan kelebihan argumen, komponen yang diangkat oleh tulisan ChatGPT sebagai bagian dari pembelajaran analisis teks (Gleason, 2022).

Henrickson (seperti dikutip dalam Stacey, 2022) juga menegaskan kemanfaatan AI yang ketika digunakan dengan tepat akan membuat proses pendidikan lebih fair. Penggunaan ChatGPT akan sangat membantu bagi mahasiswa yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua dan juga mahasiswa yang masih belum mahir dalam tata cara penulisan akademik. Program seperti Grammarly telah membantu banyak orang, dan ChatGPT dapat dianggap sebagai alat bantu yang selangkah lebih maju.

 

Langkah yang harus diambil perguruan tinggi

Terdapat isu penting yang perlu disepakati oleh civitas akademia di Indonesia dalam menanggapi disrupsi oleh ChatGPT.

Pertama, Universitas perlu menyepakati apakah penggunaan ChatGPT adalah bentuk pelanggaran etika akademik atau diperbolehkan dengan persyaratan tertentu (semisal diwajibkannya deklarasi penggunaan alat bantu berbasis AI). Kejelasan batasan etika ini menjadi penting dalam menjaga koridor praktik penulisan akademik di masa mendatang.

Beberapa universitas seperti University of Sydney, misalnya, mengubah kebijakan integritas akademiknya dengan memasukkan klausul penggunaan bantuan AI dalam proses pembuatan karya akademik sebagai salah satu bentuk kecurangan (Cassidy, 2023). Namun, beberapa pihak lainnya juga berpendapat tulisan ChatGPT dapat digunakan selama penulisnya menginformasikan penggunaannya. Kebijakan seperti ini telah diambil oleh tiga universitas di Australia Selatan (Shepherd, 2023). Pasalnya tidak dapat dipungkiri bahwa robot AI dapat membantu kita dalam melakukan riset awal dari suatu topik yang kemudian dikembangkan oleh penulisnya (McKnight, 2022).

Kedua, Universitas juga dapat mempertimbangkan sejauh mana bolehnya penggunaan alat bantu berbasis AI ini dalam karya akademik. Apakah memang universitas perlu membatasi akses website ini saat di kampus atau di minggu ujian? Atau penggunaanya diperbolehkan asalkan dideklarasikan dan tidak digunakan untuk semua komponen penilaian kelas.

Perlu disadari, teknologi ini masih berkembang dan dapat digunakan secara lebih luas di dunia kerja. Pembatasan yang sangat ketat atas penggunaan ChatGPT dapat menghambat pengetahuan mahasiswa atas kegunaanya di dunia kerja ketika mereka lulus nanti.

Ketiga, Universitas perlu berefleksi dan memikirkan kembali mengenai pengelolaan metode penyampaian materi dan penugasan di kelas yang lebih menekankan elemen kognitif individu yang genuine dalam menunjukkan kemampuan critical thinking. Selain itu, elemen afektif yang menekankan nilai keberpihakan harusnya muncul sejalan dengan proses pembelajaran. Sampai saat ini ChatGPT belum bisa merespons penugasan yang menuntut pembacaan data visual dan penalaran logika konseptual yang mendasar. Karena berbasis large language model yang menekankan basis bahasa tulis, ChatGPT menekankan kemampuan prediksi susunan bahasa tulis dari database yang ada dan perintah yang diberikan.

Universitas harus terus beradaptasi karena pengetahuan dan nilai-nilai yang dimiliki oleh lulusannya akan berpotensi memengaruhi teknologi dan perkembangan sosial di masa mendatang. Munculnya ChatGPT tidak terlepas dari perkembangan keilmuan dan fungsi yang telah dijalankan universitas di masa lalu. Maka menjadi tanggung jawab Universitas juga untuk memilih langkah bijak demi masa mendatang.

 

Tulisan ini berbasis artikel yang telah dipublikasikan sebelumnya di Megashif FISIPOL UGM. Anda dapat mengakses artikel aslinya melalui:

https://megashift.fisipol.ugm.ac.id/2023/01/27/polemik-chatgpt-bagaimana-perguruan-tinggi-harus-bersikap/


 

Referensi

Alba, D. (2022, December 8). ChatGPT, Open AI’s Chatbot, Is Spitting Out Biased, Sexist Results—Bloomberg. https://www.bloomberg.com/news/newsletters/2022-12-08/chatgpt-open-ai-s-chatbot-is-spitting-out-biased-sexist-results

Cassidy, C. (2023, January 10). Australian universities to return to ‘pen and paper’ exams after students caught using AI to write essays. The Guardian. https://www.theguardian.com/australia-news/2023/jan/10/universities-to-return-to-pen-and-paper-exams-after-students-caught-using-ai-to-write-essays

Chang, S. S. (2022, December 7). Tech in Asia—Connecting Asia’s startup ecosystem. https://www.techinasia.com/can-we-trust-chatgpt

Earley, S. (2023, January 25). ChatGPT: Insightful, Articulate, Inconsistent, and Wrong. A Game Changer? | CustomerThink. https://customerthink.com/chatgpt-insightful-articulate-inconsistent-and-wrong-a-game-changer/

Else, H. (2023). Abstracts written by ChatGPT fool scientists. Nature, 613(7944), 423–423. https://doi.org/10.1038/d41586-023-00056-7

Gleason, N. (2022, December 9). ChatGPT and the rise of AI writers: How should higher education respond? Times Higher Education. https://www.timeshighereducation.com/campus/chatgpt-and-rise-ai-writers-how-should-higher-education-respond

Henrickson, Leah. as cited in Stacey, S. (2022, December 18). Cheating on your college essay with ChatGPT won’t get you good grades, say professors—But AI could make education fairer. Business Insider. https://www.businessinsider.com/professors-say-chatgpt-wont-kill-college-essays-make-education-fairer-2022-12

Hutson, M. (2022). Could AI help you to write your next paper? Nature, 611(7934), 192–193. https://doi.org/10.1038/d41586-022-03479-w

Mannix, L. (2023, January 21). AI: ChatGPT won’t take your job, but you will need to learn how to use it. https://www.smh.com.au/national/chatgpt-won-t-take-your-job-but-you-will-need-to-learn-how-to-use-it-20230119-p5cdpn.html#Echobox=1674253673

McKnight, L. (2022, October 14). Eight ways to engage with AI writers in higher education. Times Higher Education. https://www.timeshighereducation.com/campus/eight-ways-engage-ai-writers-higher-education

Reich, R. (2022, November 28). Now AI can write students’ essays for them, will everyone become a cheat? | Rob Reich | The Guardian. The Guardian. https://www.theguardian.com/commentisfree/2022/nov/28/ai-students-essays-cheat-teachers-plagiarism-tech

Schwab, K. (n.d.). The Future of Jobs Report 2020. World Economic Forum. https://www3.weforum.org/docs/WEF_Future_of_Jobs_2020.pdf

Shepherd, T. (2023, January 21). South Australian universities to allow use of artificial intelligence in assignments, if disclosed. The Guardian. https://www.theguardian.com/australia-news/2023/jan/21/south-australian-universities-to-allow-use-of-artificial-intelligence-in-assignments-if-disclosed

Stacey, S. (2022, December 18). Cheating on your college essay with ChatGPT won’t get you good grades, say professors—But AI could make education fairer. Business Insider. https://www.businessinsider.com/professors-say-chatgpt-wont-kill-college-essays-make-education-fairer-2022-12

Stokel-Walker, C. (2022). AI bot ChatGPT writes smart essays—Should professors worry? Nature. https://doi.org/10.1038/d41586-022-04397-7

Wiggers, K. (2021, June 10). OpenAI claims to have mitigated bias and toxicity in GPT-3. VentureBeat. https://venturebeat.com/ai/openai-claims-to-have-mitigated-bias-and-toxicity-in-gpt-3/

Related Post

Scroll to Top
Scroll to Top